(Taiwan, ROC) — Pada tanggal 11 Januari 2020 mendatang, Taiwan akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih presiden dan anggota legislator. Media Amerika Serikat, New York Times mewartakan bahwa ada kekhawatiran akan tindak tanduk Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam mempengaruhi pelaksanaan pemilu Taiwan. Mengingat Taiwan menganut paham demokrasi, yang membuat penyebaran berita palsu akan lebih mudah tersebar di jejaring media sosial lokal.
Laporan tersebut juga menyebutkan, otoritas Beijing memiliki sejarah panjang dalam melancarkan propaganda dan intimidasi politik untuk mempengaruhi pemilu Taiwan. Namun, metode yang menggunakan kekerasan tidak mudah diterima oleh masyarakat Taiwan. Oleh karena itu, Negeri Panda tersebut menggunakan cara baru, yakni dengan memanfaatkan era digital media sosial yang rumit.
Menilik dari laporan yang dirilis Taiwan Fact Check Center, dalam beberapa bulan terakhir ini banyak konten palsu yang sulit teridentifikasi di media sosial Facebook.
Pada bulan Mei tahun lalu, Biro Pertahanan Nasional (NSB) telah menerbitkan laporan dengan tajuk "Tindakan Merespons Informasi Palsu RRT". Laporan tersebut mendesak pemerintah dan masyarakat Taiwan untuk segera mengadopsi langkah pencegahan yang nyata, guna menekan penyebaran informasi palsu.
Laporan tersebut menuliskan, "Menurut penelitian para ahli, serangan informasi palsu merupakan langkah terakhir dalam perang digital. Hal ini juga menandakan bahwa pertahanan Anda telah berhasil disusupi".
Laporan tersebut juga menuliskan, dewasa ini warga Taiwan menjadi lebih waspada akan penyebaran informasi palsu yang datang dari RRT. Pemerintah juga telah memperkuat mekanisme hukum, guna mengurangi dampak dari penyebaran berita palsu tersebut. Facebook, Google dan Line, juga telah memperkuat sistim manajemen platform mereka masing-masing. Otoritas pemerintah bersama dengan asosiasi masyarakat setempat akan berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisasi penyebaran informasi palsu.
Asisten peneliti dari Institute for National Defense and Security Research (INDSR), Ceng Yi-suo (曾怡碩) menyampaikan hal ini sama halnya dengan intervensi Rusia dalam pemilu Amerika Serikat sebelumnya. Tujuan akhir dari RRT adalah demi memerangi kepercayaan masyarakat terhadap intitusi pro demokrasi Taiwan.
Pada bulan Agustus tahun lalu, media sosial twitter mengumumkan telah menangguhkan 936 akun yang mencurigakan. Akun-akun tersebut dinilai dapat mendiskreditkan upaya perlawanan warga Hong Kong dalam menentang RUU Ekstradisi.
Otoritas Beijing memblokir penggunaan twitter, sehingga warga RRT harus menggunakan Virtual Jaringan Pribadi (VPN) untuk mengakses twitter. Selain twitter, banyak jejaring media sosial yang diblokir oleh otoritas Beijing. Twitter juga menyampaikan ini adalah salah satu cara pemerintah RRT untuk melawan aksi protes di Hong Kong.
Pada tahun 2018, sebuah artikel jurnal terkait dengan Departemen Pekerjaan Front Bersatu Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (UFWD) mewartakan Beijing telah gagal membentuk wacana publik di Taiwan, dengan alih-alih ingin menyatukan lintas selat.
Pada bulan November, UFWD juga menggelar konferensi perdana di Beijing, yang membahas strategi jaringan UFWD. Ketua UFWD, You Quan (尤權) menginstruksikan untuk memperkuat pedoman ideologi dan politik para tokoh masyarakat, meliputi selebriti internet, influencer, penyiar dan pembawa acara olahraga.
Media New York Times menambahkan, gerak gerik warganet RRT sebelumnya sangat mudah teridentifikasi di Taiwan. Dan saat ini, penyebaran mereka lebih sulit untuk diketahui. Namun demikian, terdapat perbedaan mendasar perihal penggunaan ucapan yang sering digunakan di Taiwan dan RRT.
Indeks Berita:RTI
Editor:尤繼富